KEDUDUKAN SAKSI MAHKOTA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BEDASARKAN ASAS PERADILAN YANG ADIL

Authors

  • Carlo Athallah Yassar Universitas Udayana Author
  • I Gusti Ngurah Nyoman Krisnadi Yudiantara Universitas Udayana Author

DOI:

https://doi.org/10.62281/kr52xh92

Keywords:

Saksi Mahkota, KUHAP, Peradilan Pidana, Yurisprudensi

Abstract

Penelitian ini membahas kedudukan saksi mahkota dalam sistem peradilan pidana Indonesia serta problematika yang muncul dari penggunaannya. Saksi mahkota adalah seorang terdakwa yang memberikan keterangan terhadap terdakwa lain dalam perkara pidana yang dilakukan bersama-sama (deelneming). Meskipun tidak diatur secara tegas dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keberadaannya memperoleh legitimasi melalui yurisprudensi Mahkamah Agung, khususnya Putusan Nomor 1986 K/Pid/1989 yang memperbolehkan penggunaan saksi mahkota dengan syarat keterangannya tidak boleh dijadikan satu-satunya dasar pemidanaan. Penggunaan saksi mahkota biasanya muncul sebagai konsekuensi dari pemisahan berkas perkara (splitsing) oleh jaksa penuntut umum ketika alat bukti yang ada belum cukup menggambarkan peran masing-masing pelaku. Walaupun dianggap efektif untuk memperkuat pembuktian, mekanisme ini menimbulkan dilema karena berpotensi mengesampingkan hak terdakwa, terutama prinsip non self-incrimination yang melarang seseorang dipaksa memberikan keterangan memberatkan dirinya sendiri. Permasalahan semakin terlihat ketika saksi mahkota berada dalam posisi ganda sebagai terdakwa sekaligus alat bukti, sehingga membuka peluang terjadinya tekanan atau pemberian janji keringanan hukuman dari aparat penegak hukum. Hal ini dapat menghasilkan kesaksian bias dan mengancam asas fair trial yang menuntut proses peradilan imparsial dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Melalui penelitian hukum normatif, ditemukan bahwa penggunaan saksi mahkota harus dilakukan secara hati-hati, dibatasi, dan didukung alat bukti lain sesuai Pasal 183 KUHAP. Kasus Marsinah menunjukkan bagaimana penyalahgunaan mekanisme ini dapat melahirkan pelanggaran HAM. Oleh karena itu, diperlukan reformulasi hukum acara pidana, terutama revisi KUHAP untuk mempertegas kedudukan dan batasan saksi mahkota.

Downloads

Download data is not yet available.

References

Buku

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2016).

Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. (Jakarta, Sinar Grafika, 2006).

Jurnal

Anggasakti, T., & Pati Kawa, A. “Penggunaan Saksi Mahkota dalam Pembuktian Perkara Pembunuhan Berencana berdasar Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence).” Jurnal Verstek 4, No. 2 (2016): 200-208.

Arridho, M. R., & Sumarwoto. “Tinjauan Hukum Peranan Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti alam Proses Pidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).” Indonesian Journal of Islamic Jurisprudence, Economic and Legal Theory 3, No. 3 (2025): 2505–2509.

Danusubroto, A., & Nelson, F. “Konsep pengaturan saksi mahkota dalam proses peradilan: Suatu perbandingan dalam hukum acara pidana Indonesia dan Belanda.” Nagari Law Review 7, No. 2 (2023): 241-252

Dewi, I. A. K. C., Dewi, A. A. S. L., & Widyantara, I. M. M. (2023). Kedudukan Saksi Mahkota dalam Proses Pembuktian Tindak Pidana di Indonesia. Jurnal Preferensi Hukum, 4(2), 124-129.

Helmawansyah, M. (2021). Penggunaan Barang Bukti Elektronik yang Dijadikan Alat Bukti dalam Perkara Pidana. Journal of Law (Jurnal Ilmu Hukum), 7(2), 527-541.

Mulyati, Nani. "Kepastian Hukum Penggunaan Saksi Mahkota Dalam Pembuktian Pidana Ditinjau Dari Asas Hak Terdakwa Tidak Boleh Mendakwa Dirinya Sendiri (Non Self Incrimination)." Unes Journal of Swara Justisia 8, no. 4 (2025): 725-734.

Ningsih, S. A., & Aryati, R. (2025). Kedudukan Hukum Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Hukum Acara Pidana. Pagaruyuang Law Journal, 33-42.

Rista, Diana, and Irawan Hadi Wiranata. "Pendidikan HAM dalam Kisah Tragis Marsinah: Menggugah Kesadaran akan Pentingnya Perlindungan Hak Asasi Manusia." Prosiding Seminar Nasional Kesehatan, Sains dan Pembelajaran 3, No. 1 (2024):359-368.

Setiyono, Setiyono. "Eksistensi Saksi Mahkota sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana." Lex Jurnalica 5, no. 1 (2007): 29-37.

Soraya, J., & Irawati, S. A. (2024). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Atas Hak Fair Trail Sebagai Bentuk Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Indonesia. In Seminar Hukum Nasional Dan Call For Paper Dengan Tema “Membangun Hukum Pidana Dalam Negara Hukum Yang Demokratis (pp. 1-22).

Suwarno, Asmawati. “Perlindungan Hak Asasi Manusia Selama Penahanan: Penegakan Prinsip Hak Fair Dalam Sistem Peradilan”. Siyasah Jurnal Hukum Tata Negara 4, No. 1 (2024): 34-46.

Syarimah, Nor, and Santi Rima Melati. "Pemisahan Berkas Perkara Pidana (Splitsing) dalam Penunjukan Majelis Hakim dan Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Banding di Pengadilan Tinggi Surabaya." Jurnal Global Ilmiah 2, no. 2 (2024): 901-906.

Skripsi

Indah Suci Wulandari. “Perkembangan Yuridis Saksi Mahkota dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Perbandingan terhadap Konsep Justice Collaborator” (Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2025).

Internet

Rachmalia, Mira. “Mengenang Perjuangan Marsinah, Tokoh Buruh Perempuan Asal Jatim.” Detikjatim. URL: www.detik.com/jatim/berita/d-7892561/mengenang-perjuangan-marsinah-tokoh-buruh-perempuan-asal-jatim diakses pada 20 november 2025.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1986 K/Pid/1989

International Covenant on Civil and Political Rights.

Published

2025-11-28

How to Cite

KEDUDUKAN SAKSI MAHKOTA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BEDASARKAN ASAS PERADILAN YANG ADIL. (2025). Jurnal Media Akademik (JMA), 3(11). https://doi.org/10.62281/kr52xh92